When It Rains

12527955_927682167317433_808296481_n

Annyeong, hola ketemu lagi sama author setelah lama vakum nih..  FF when it rains ini merupakan FF repackage dari FF I love You, Please Comeback, tapi dengan beberapa bumbu penyedap (dikira roy** atau masa**) FF ini menjadi sad romance yang menguras air mata (kepedean nih author –“)..FF ini terinspirasi dari digital single melodyday feat Ravi ‘when it rains’ ..BIG THANKS to Ravienne artwork untuk cover FFnya yang menjiwai dan kece badai..
Maaf apabila ada salah-salah kata dan ceritanya kurang menarik… enjoy this story and dont be a silent readers guys^^

NB: mohon maaf untuk FF Stupid Liar belum bisa dilanjutkan karena terkendala beberapa hal, tapi sebisa mungkin author tetap share kelanjutannya, terima kasih untuk readers yang setia menunggu..

*****

Author : LeoVivin

Title     : When It Rains

Genre  : Sad Romance

Cast     :

  • Ravi  (VIXX)

  • Shin Jinri

  • Park Sera

 

Hamparan bunga aster seakan menari dan tertawa bahagia saat butiran air hujan jatuh membasahi mereka. Kelopak putih si mungil aster tampak bersinar dan bersih dari debu yang melekat selama ini. Hembusan angin menggoyangkan batang dan daun bunga aster yang juga terlihat senang dengan hujan pagi ini. Sayangnya hanya si aster yang bahagia dengan kedatangan hujan, tidak dengan Sera. Garis wajahnya menegaskan kesuraman dan kepenatan. Jadilah wajah tirus dan pucat itu terlihat mengerikan.

Blues putih yang ia kenakan berkali kali tersapu oleh angin nakal yang ingin mengajaknya bermain, tidak hanya itu, helaian rambut hitamnya yang mulai kusut ikut digoda sang angin hingga beberapa helai menutupi pandangannya, tapi Sera tak berkutik. Dia tetap diam, berdiri tegak di atas kakinya yang kurus. Pandangan matanya tetap lurus menatap gerbang besi bercat hitam dengan beberapa lumut menggrogoti pangkal dan ujung tonggak. Tatkala memandangi gerbang itu, dia meyakini seseorang itu akan datang. Tersenyum dari kejauhan dan jatuh dalam pelukannya lagi. Sera sangat meyakini hal itu, tak berkurang sedikitpun. Namun kenyataan berkata lain, sampai detik ini dia tak kunjung datang, walau Sera sudah menunggunya setiap hari. Entah apa yang terjadi di jauh sana, hingga dia tidak meluangkan waktu untuk mengunjungi Sera.

“Ravi.. kau dimana?” bisik Sera lemah. Dia menunduk sekarang, mengalihkan pandangan pada sebingkai foto yang ia genggam.

“Aku merindukanmu, kapan kau kembali? Aku masih setia menunggu kedatanganmu, kau akan kembali kan?” bisik Sera sekali lagi pada foto tersebut, seolah-olah Ravi dapat mendengar perkataannya. Jelas saja tidak ada jawaban dari Ravi, hanya suara hujan yang semakin deras, menemani kesendirian dan tangis Sera setiap kali mengingat Ravi.

*****

Ketika aku melihat air mata itu jatuh

Rasanya aku ingin menarikmu dalam pelukanku

Mengusap air matamu dan menenangkan jiwamu

Tapi aku hanya diam dalam duniaku

Jauh jauh jauh, dan kau tidak perlu mengetahuinya

 

Bulan dan bintang perlahan datang mengusik duniaku

Menghilangkan kabut malam yang menghalangi penglihatanku

Aku pikir mimpi burukku akan segera berakhir

Aku pikir dunia baruku akan segera dimulai

-Ravi-

*****

Hampir satu jam lamanya Jinri terdiam seorang diri. Tidak tahu harus berbuat apa selain menatapi punggung Ravi yang sibuk di depan komputer. Menjadi komposer lagu memang sulit, merangkai nada demi nada menjadi sebuah alunan melodi yang enak didengar bukanlah hal yang mudah, membutuhkan kerja keras dan kreatifitas tinggi. Sebenarnya Jinri sangat suka melihat Ravi berkonsentrasi dengan jutaan nada tersebut, dia terlihat tampan dengan wajah serius, belum lagi ketika dia tersenyum simpul saat menemukan alunan melodi yang menarik. Ah itu benar-benar membuat Jinri semakin mencintai laki-laki itu. Tapi beda hal dengan sekarang. “Ini terlalu lama” gerutu Jinri.

“Ravi-ya” rengek Jinri.

“Hemmm”

“Masih lamakah?”

“…….”

Tidak ada jawaban dari Ravi, dia tetap berkonsentrasi mencari nada yang pas untuk disambung dengan nada A minor pada bagian chorus lagu. Jinri sebal, dia mendengus lembut takut Ravi mendengar. Disandarkan bahunya ke sofa lembut yang ia duduki, tangannya bersendekap, memasang wajah sekesal mungkin. Berharap Ravi melihat ekspresinya kali ini. Sepertinya tidak berhasil, sudah hampir 10 menit Jinri memasang ekpresi seperti itu, tapi Ravi tidak memperdulikannya, dia masik asik dengan komputer dan kumpulan nada. Tidak kuat menunggu, akhirnya Jinri memutuskan untuk bangun dan pulang. Tangan Ravi segera mungkin menggenggam pergelangan tangan Jinri, menahan kepergiannya.

“Duduklah, sabarlah sebentar lagi” pinta Ravi masih dengan wajah yang menatap lurus pada komputer.

Aniyo, aku mau pulang” ketus Jinri.

Tahu kekasihnya ini sedang merajuk, Ravi memutar badan untuk menatap Jinri. Jinri melengos kesal, tidak sudi menatap muka Ravi yang sedang tersenyum tipis padanya.

“Duduklah..” pinta Ravi sekali lagi.

Aniyo, apa kau tidak mendengar?”

“Duduklah”

Aniyo” sekali tarik Ravi berhasil menarik Jinri duduk, tapi tidak di sofa melainkan di atas pangkuannya.

“Kau sudah duduk kan sekarang?” bisik Ravi tepat di hadapan Jinri. Perempuan ini tidak bisa menjawab, melainkan membuang muka, menyembunyikan pipinya yang menyemu merah.

“Kau marah? Kenapa tidak menatapku?” tanya Ravi dengan nada agak mendesah.

Aniyo, aku hanya lelah menunggu”

“Kalau kau duduk seperti ini, apa kau masih mau menunggu?”

Ravi membuka genggaman tangannya, kemudian menjalankan kedua tangan tersebut ke pinggang Jinri, menarik wanita itu lebih dekat dan membiarkan Jinri merasakan nafas Ravi menyentuh tengkuk lehernya.

“Gadis manja” ucap Ravi singkat seraya mendaratkan kecupan manis di leher Jinri, alhasil Jinri tersentak dan menoleh pada Ravi dengan muka yang semakin memerah.

“Yak Ravi-ya

Wae? Kau tidak suka?”

Aniyo” jawab Jinri dengan nada cuek.

Jinjja?” Ravi semakin giat menggoda Jinri dengan mengeratkan rengkuhan di pinggang Jinri.

“Ravi hentikan!”

“Aku akan berhenti menggodamu jika kau mengalungkan tanganmu di leherku” Ravi mengedipkan mata nakal ke Jinri, membuat gadis ini salah tingkah.

“Hisshhh”

Jinri menuruti permintaan Ravi, dia mengalungkan kedua tangannya di leher Ravi, membuat mereka berhadapan satu sama lain.

“Kenapa kau mengigit bibirmu? Kau ingin aku menciummu?” Ravi masih terus menggoda Jinri.

“Apa kau akan melakukannya jika aku mengatakan iya?”

“Tentu saja”

“Iya, lakukanlah”

“Besok, aku akan menciummu besok”

“Yak Ravi” Jinri mendengus kesal, mengembungkan pipinya sebesar mungkin. Ravi tertawa lebar melihat Jinri kesal. Setidaknya dia sudah berhasil meredam kemarahan Jinri.

*****

Sera berjalan sempoyongan masuk ke dalam rumah bergaya minimalis yang ia design sendiri dengan Ravi. Rumah idaman mereka berdua kini menjadi sepi dan tak terawat. Tumpukan debu dimana-mana, daun kering bertebaran di teras, dan beberapa sarang laba-laba membentuk di langit-langit rumah.

“Dia tidak datang lagi hari ini” gumam Sera lemas.

“Kau dimana? Apa kau ingat denganku?” gumam Sera sekali lagi.

Ia terduduk lesu di lantai dengan ekor mata yang menatapi setiap foto mereka berdua yang terpajang rapi pada setiap pojok rumah. Mengingat kenangan di setiap foto itu hanya membuat kesakitan Sera menjadi lebih dalam. Sudah terlalu banyak kesakitan yang Sera rasakan selama ini, tapi ia menikmati semua kesakitan itu, berharap keajaiban datang dan kesakitannya sirna dalam hitungan detik. Bak sebuah dongeng kerajaan dimana sang putri menunggu pangeran berkuda putih, begitulah Sera. Menunggu Ravi datang padanya.

“Apa kau sudah menemukan yang lain dan melupakan janji kita? Aku sudah tidak bisa menangis lagi sekarang, air mataku sudah kering, masih tegakah kau membiarkanku menangis Ravi? Aku mohon kembalilah ke sisiku” bisik Sera.

Gadis ini menunduk, menjatuhkan pandangan pada foto Ravi yang ada digenggamannya. Lama sekali ia memperhatikan lekuk wajah Ravi. Sampai akhirnya ia menenggelamkan foto itu dalam dekapan hangat. Andai saja, ada seorang peri yang bisa menolong Sera hari ini untuk menuntaskan puncak kerinduannya bertemu Ravi. “Jika peri itu benar-benar ada, maka datanglah” bisik Sera lembut. Malam segera datang dan esok pagi Sera akan kembali berdiri di teras, mengamati gerbang, berharap Ravi hadir disana.

*****

Jinri memicingkan mata karena sinar matahari berhasil menganggu tidur nyenyaknya. Ia menggeliat beberapa kali sebelum membalikkan badan dan menyadari seorang pria di sampingnya. Dia tidak terkejut melainkan tersenyum simpul. Di sampingnya saat ini adalah Ravi, dia sedang tertidur pulas. Jinri suka sekali memperhatikannya tidur. Jinri menggeser badannya agar lebih dekat dengan Ravi. Wajah nakal Ravi tatkala menggoda Jinri seketika berubah polos saat ia tidur. Sengaja Jinri menggerakkan tangannya untuk memeluk Ravi, menyentuh perut Ravi yang tidak ditutupi sehelai benangpun. Jinri tersenyum nakal dan bahagia tatkala ia bisa menjatuhkan kepalanya tepat di atas dada Ravi yang bidang.

“Ah ini sangat menyenangkan” Jinri terkekeh bahagia.

Belum lama Jinri menikmati kenikmatan tersebut, ponsel miliknya berdering cukup keras, seseorang menelfon.

“Aish menganggu” terpaksa Jinri bangun untuk meraih ponselnya. Ia tersentak kaget mengetahui sang penelpon.

Eomma” pekik Jinri dari ujung telfon.

“Yak, kemana kau semalam? Kenapa tidak pulang?”

“Ah aku menginap di rumah Jiwon” jawab Jinri enteng. Menginap dirumah adik Ravi, Kim Jiwon memang menjadi alasan andalan Jinri.

“Jiwon apa Ravi?”

“Ih, eomma” skak mak Jinri, kebohonganmu terbongkar.

“Kau tidak melakukannya dengan Ravi kan?”

“Hish eomma, tentu saja tidak, kita tidak segila itu”

“Pulanglah, hari ini kita harus fiting gaun pengantin, arasso?”

Ne” telfon terputus dan raut wajah Jinri tertekuk. Pasti hari ini akan melelahkan kembali.

Wae?” suara Ravi tiba-tiba terdengar, suara basnya sedikit menakutkan ketika bangun tidur. Cukup membuat Jinri terperanjat kaget.

“Ah mwoya? Kau membuatku kaget Ravi-ya, kau sudah bangun? Kau bangun karena suaraku? Mianhae” Ravi menggelengkan kepala lemah.

“Siapa yang menelfon?”

Eomma,  hari ini aku harus fiting gaun pengantin”

“Oh”

“Hei yak Ravi, pakailah bajumu, jangan sampai aku bernafsu melihatmu, hish” Jinri berpura-pura memalingkan muka.

“Bukankah kau suka melihatku telanjang dada seperti ini”

“Jangan gila”

“Benarkah?”

Baru saja Jinri berniat untuk turun dari kasur tapi Ravi sudah memeluknya dari belakang. Menjatuhkan kepalanya tepat di bahu Jinri, memberatkan gadis ini.

“Kau pikir aku tidak tahu, kau diam-diam memelukku tadi, gadis nakal”

“Ravi jangan begini, aku bisa terlambat” Jinri menggeliat.

“Diamlah beberapa saat seperti ini, semalam aku tidak puas memelukmu”

“Bersabarlah sebentar lagi, setelah kita resmi menjadi suami istri kau bisa puas memelukku”

“Aku tidak sabar menunggu”

Sebuah kecupan hangat dari Ravi mendarat tepat di pipi Jinri, membuat gadis ini menggeliat manja, sehingga Ravi bisa mengencangkan pelukannya, membiarkan kehangatan dari tubuhnya mengalir deras ke dalam tubuh Jinri.

*****

“Ravi-ya oddiseo?” tanya Jinri dari ujung telfon.

“Aku menemani Jiwon ke toko buku, wae?”

“Dompetku tertinggal di apartementmu, bisakah kau mengantarkannya?”

“Aku tidak bisa mengantarkannya, kau ambil saja sendiri, gwaenchana?”

Arasso

Hal yang paling menjengkelkan adalah kembali, perlu waktu 30 menit untuk berputar balik ke apartement Ravi demi sebuah dompet. Seharusnya Jinri sudah sampai di butik, tapi dia masih di jalan, benar-benar membuang waktu. Sesampainya disana, tak butuh waktu berlama-lama, Jinri segara mengambil dompet miliknya yang tergeletak di meja ruang tamu. Saat hendak berputar balik, sebuah pemadangan mengganggu Jinri, yaitu sebuah laci yang tidak pernah diperbolehkan dibuka oleh Ravi. Laci itu selalu tertutup rapat, tapi hari ini kunci menggelantung disana. Rasa penasaran Jinri menguat, ada apa di dalamnya? Rahasia apa yang Ravi simpan di dalamnya? Secepat mungkin Jinri membuka laci tersebut, dan isinya hanya sebuah kotak cokelat. Jinri mengernyitkan dahi.

“Kotak apa ini?”

Sejumput pertanyaan dan prakira sudah memenuhi kepala Jinri saat ini. Segeralah dibuka kotak tersebut, betapa terkejutnya Jinri melihat benda-benda yang ada di dalamnya. Banyak foto yang tersimpan dengan beberapa lembar surat dan sebuah gaun putih.

“Siapa wanita ini? ini bukan Jiwon?”

Diperhatikan betul wanita itu. Jinri tidak pernah melihatnya, dia tidak mengenal wanita ini. Dibuka lagi foto yang lain, masih wanita itu dengan pose yang berbeda. Jinri terus membuka foto itu perlahan sampai pada akhirnya Jinri menemukan foto Ravi dengan wanita itu, tidak hanya satu tapi beberapa foto. Mereka berpose mesra, bahkan ada satu foto dimana Ravi sedang mencium keningnya. Air mata Jinri langsung jatuh melihatnya. Selesai dengan foto-foto tersebut, Jinri membaca beberapa lembar surat yang terselip di dalamnya. Sakit semakin menohok dan menghujam dada Jinri. Banyak kata-kata romantis disana, surat itu sengaja ditulis Ravi untuk wanita ini yang akhirnya Jinri ketahui bernama Park Sera. Satu surat yang membuat Jinri semakin tak terkendali adalah surat yang dibuat Ravi 1 hari yang lalu.

 

Seoul, 2 februari 2015

Ketika hujan turun, aku mengingat tentang kita berdua

Mengapa aku berbuat demikian?

Membuatmu menangis dan bersedih

Sekian lama waktu berlalu

Apakah lukamu sudah membaik?

Sesungguhnya aku ingin melakukan hal bodoh

Aku ingin bertemu denganmu ketika aku bersama cinta yang lain

Tapi sebenarnya aku tidak bangga dengan itu

Aku minta maaf sudah melakukan semua ini..

Aku dapat melihat kesakitanmu saat aku pergi..

 

Saat ini aku merindukanmu..

Ingin ku bisikkan kata-kata cinta di telingamu..

Memelukmu sekuat kuatnya

Mengusap air matamu

Dan mengatakan aku menyayangimu

Aku mencintaimu Park Sera

-Ravi-

Jinri tak dapat berkata-kata lagi, air mata dan kesakitan yang menjawab keadaannya saat ini. Barang terakhir yang melengkapi kesakitan Jinri adalah sebuah gaun putih yang sudah jelas sekali untuk Sera. Sebuah kartu ucapan terselip di potongan leher gaun tersebut, tertulis ‘for my love, Sera’. Gelap sudah dunia Jinri saat ini.

“Apa yang kau lakukan?” bentak Ravi.

Jinri tidak menyadari Ravi sudah kembali, dia terlalu sibuk menangis dan meratapi kepedihan.

“Kenapa kau membuka laci itu? Kenapa kau mengambil barang milikku? Sudah ku katakan untuk tidak membuka laci itu, hah?”

Ravi sangat marah, Jinri tahu dari pancaran matanya. Tapi Jinri tak menjawab, dia hanya menatap Ravi dengan tatapan nanar, sedih, kecewa, semua bercampur aduk.

“Jinri jawab!”

“Ravi appo” rintihnya saat Ravi mencengkram bahu Jinri kuat, mengguncang tubuh lemah Jinri berkali kali.

“Siapa wanita itu? Kenapa kau tega melakukan ini?”

“Bukan urusanmu”

“Ravi aku calon istrimu, aku berhak mengetahui wanita itu, siapa dia? Apa dia mantanmu? Selingkuhanmu? Kau merindukannya? Kenapa kau mengatakan kau mencintainya disaat kau menjadi calon suamiku, Ravi aku mohon jawab!” Jinri terisak.

“DIAM!” mata Ravi penuh dengan emosi yang meluap-luap. Tanpa segan dia menghempaskan badan Jinri jauh hingga membentur meja.

“Arghh” pekik Jinri. Tidak disangka Ravi bisa menyakiti Jinri seperti ini.

“Hish” Ravi membuang muka, seakan tak peduli sudah melakukan tindak kekerasan pada Jinri.

“Ravi-ya appo, kenapa kau seperti ini? Kenapa kau sangat marah, apa ada sesuatu yang kau sembunyikan?” Jinri meringis kesakitan.

“Diam, kau tidak bisa diam hah?” sorot mata Ravi berubah sangat mengerikan.

“Ravi, apa yang terjadi?”

“Jinri diam, aku mohon diam!” Ravi terus membentak dan tak terkendali membuat Jinri ketakutan.

“Ravi jawab pertanyaanku siapa dia? Apa yang terjadi? Jika kau mencintai wanita itu, aku tidak akan memaksa untuk menikah, aku rela pernikahan ini batal”

“Apa yang kau katakan?”

“Sepertinya kau sangat mencintainya dibanding aku. Lebih baik kita sudahi sampai disini, aku tidak bisa memaksa menikah, aku tidak bisa Ravi”

“Jinri-ya

“Aku mohon jangan mendekat, aku takut kau menyakitiku lebih jauh lagi”

Jinri memaksa bangun dengan lutut lebam akibat menghantam kaki meja. Mencoba tegar walau dalam dirinya hancur.

“Kembalilah pada wanita itu! Kau bebas melakukannya sekarang. Semoga kau bahagia dengannya, tapi aku akan tetap mengingatmu sebagai laki-laki yang sangat aku cintai.” Jinri sekilas berbalik, berjalan menjauhi Ravi dengan sisa tangis yang terisak.

“Jinri-ya, apa yang kau katakan, yak kembali!”

Sudah tidak ada lagi kata-kata yang bisa Jinri dengar saat ini, semua keadaan dan kemarahan Ravi sudah menjawab segalanya. Wanita itu lebih istimewa dibanding Jinri, hingga membuat Ravi bertindak kasar dan semarah itu. Hubungan ini harus berakhir dan pernikahan dibatalkan. Ravi mengacak rambutnya kesal, mendengus berkali kali dan membuang bogem mentah di tembok.

“Jinri, aku sangat menyayangimu, aku sangat mencintaimu, tapi aku tidak ingin menyakitimu”

*****

Setumpuk awan hitam menggelayut di ufuk timur, menghalang berkas sang matahari menyinari dunia. Tidak ada kehangatan pagi ini, hanya kesejukan dan angin semilir yang membelai setiap insan di singgasana mereka. Jinri mengerjapkan mata sejenak, melihat ke sekeliling, ya dia masih di kamarnya. Padahal semalam dia merasa bersama Ravi, berpelukan hingga sang fajar terbit. Dia? Untuk menyebut namanya lidah terasa kelu, mengingat perawak dan wajahnya membuat seluruh badan Jinri tersengat listrik beribu ribu watt. Jinri membalikkan badan, menatap meja hias. Bingkai foto itu pun masih ada. Jinri tak mampu menggerakkan tangan untuk membuangnya. Foto kenangan itu masih terbingkai manis disana. Jinri harus kuat menahan semua kesakitan ketika melihat romansa cinta mereka. Kisah manis hubungan mereka berakhir sudah. Tak sanggup berlama-lama melihat kenangan manis itu, Jinri kembali menarik selimut, berlindung di bawah sana, menyembunyikan air mata dari sekeliling yang penuh dengan kenangan Ravi. Hati kecil Jinri membisik beberapa kata untuknya, tapi tidak ia gubris. “Bagaimanapun aku sudah berjanji untuk melupakannya?” tekad Jinri sudah bulat untuk menghilangkan nama Ravi dari hidupnya. Tapi apa yang terjadi? Hati kecil itu semakin nakal, membisik setiap detik bahkan mengajak otak bekerja sama. Sepertinya kerjasama mereka berhasil, sekarang bibir Jinri yang mulanya membeku terbuka perlahan.

“Ravi, aku merindukanmu” akhirnya suara Jinri lolos keluar dari bibirnya dan mengatakan sederet kata-kata itu.  Hati kecil Jinri bersorak gembira, namun tidak dengan air mata itu. Dia semakin deras jatuh. Sekuat apapun Jinri menahan diri untuk tidak memikirkannya, tetap saja hati kecil itu tidak dapat berbohong. Jinri merindukan laki-laki bertubuh tegap itu. Merindukan pelukan dan genggaman tangannya.

Seiring dengan pernyataan rindu seorang Jinri, hujan turun dengan lembut, membelai dedaunan dan rerumputan yang membutuhkan pasokan air serta membersihkan butiran debu di jendela. Mendengar senandung gemericik air, Jinri terhenyak dari kungkuman selimut tebal putih. Menatap nanar pada rembesan buliran air di luar sana. Mereka sangat damai dan tenang, ingin sekali Jinri berubah menjadi buliran air itu, mengalir kemanapun saluran air mengarah. Tanpa memikirkan halangan atau rintangan yang akan menghadang. Jinri menghela nafas panjang sebelum akhirnya bangun dari tempat tidur. Melihat pantulan diri sendiri di kaca, Jinri terlihat kacau dan mengerikan, sudah hampir berhari hari hidupnya berantakan. Kantung mata menghias sempurna di bawah kelopak mata, belum lagi rambutnya yang bau dan acak-acakan. Perut yang meronta kelaparan juga tidak dipedulikan.

“Kau, kau, aku merindukanmu” bisik Jinri lemah sebelum jatuh terduduk dan kembali menangis. Suara tangis Jinri pelan tapi pasti ditelan oleh suara gemuruh hujan yang semakin deras jatuh.

*****

            Ravi tak bergerak sedikitpun dari tempat tidur. Kepalanya pening, badannya semakin lemas setelah beberapa kali muntah. Sudah beberapa hari ini Ravi mengurung diri di kamar, menghancurkan dirinya sendiri dengan meminum alkohol tiada henti. Barang-barang disekitarnya sudah menjadi bahan amukan, berantakan dan pecahan kaca dimana-mana. Keadaan Ravi saat ini tak lebih baik dari Jinri. Mereka sama-sama terpuruk dengan perpisahan menyakitkan ini. Bayang-bayang tangisan Jinri terus membayangi Ravi sepanjang hari. Tidak hanya itu, setiap malam Ravi dihantui mimpi buruk tentang Jinri. Wanita itu sudah membuat hidup Ravi hancur total dalam hitungan detik.

“Shiitt!” Ravi membuang bantal ke sembarang arah.

Oppa” sapa Jiwon dari balik pintu. Ekspresi wajahnya terlihat takut sekaligus khawatir melihat Ravi.

“Jiwon-ah” sapa Ravi parau.

Oppa, gwaenchana? Kenapa oppa kacau sekali? Oppa masih memikirkan Jinri eonnie? Oppa sangat mencintainya kan?” digenggamnya tangan Ravi. Beberapa hari ini Jiwon ikut tidak tenang melihat Ravi kacau. Sengaja dia menginap di apartement kakaknya, takut Ravi melakukan hal-hal yang tidak di inginkan.

“Jiwon-ah… “ Ravi tak sanggup mengeluarkan kata-kata sedikitpun.

Oppa, kembalilah pada Jinri eonnie. Aku yakin dia sangat mencintai oppa dan menunggu oppa sekarang. Palli!”

“Kau yakin?”  Jiwon mengangguk sekuat mungkin. Tak banyak yang bisa Ravi lakukan selain mengelus lembut rambut adiknya.

*****

            Mandi dengan aroma teraphy sesungguhnya tidak memberikan efek besar pada Jinri. Aroma teraphy yang berguna untuk menenangkan pikiran ternyata tak mampu menenangkan pikiran Jinri. Benang kusut di dalam otaknya masih berputar nama Ravi. Beberapa saat gadis ini mengamati perubahan dirinya kembali. Kantung mata masih setia menghiasi, Jinri sedikit bergidik melihat wajahnya berubah mengerikan. Akan butuh banyak waktu di salon untuk kembali seperti sedia kala. Jinri harus menyiapkan banyak waktu luang untuk itu, yang jelas sekarang cacing di perutnya sudah meronta. Berhari-hari mereka tidak mendapatkan asupan makanan. Jinri melangkah malas ke dapur mencari sesuap nasi disana, tak lama melangkah bel rumah meraung-raung. Jinri melangkah gontai, membuka pintu tanpa firasat apapun, Jinri terperangah  ketika membuka pintu ternyata Ravi yang berdiri disana.

“Ikut aku!” tanpa meminta persetujuan Jinri, Ravi menariknya keluar rumah, memaksa masuk ke dalam mobil dan membawanya pergi.

“Keluarkan aku! Hei yak” Jinri berontak, memaksa membuka seat belt.

“Jika kau berontak, mobil ini akan aku tabrakkan, dan kita mati bersama. Jadi diamlah!”

Mwo?” ancaman yang menakutkan, terpaksa Jinri diam.

Selama perjalanan mereka berdua terkurung dalam kesunyian dan kebungkaman satu sama lain. Tidak ada yang mau mengalah untuk membuka suara terlebih dahulu. Keduanya sama-sama egois, walau sesekali keduanya mencuri pandang satu sama lain. Mobil berwarna silver ini terus melaju memecah jalanan kota Seoul. Ravi membelokkan kemudinya keluar kota Seoul, Jinri mengenyitkan dahi, kemana Ravi akan membawanya? Beberapa saat kemudian, mereka memasuki jalanan yang lebih sepi, beberapa pohon mahoni menghias di pinggir trotoar. Tempat yang asing bagi Jinri.

*****

            Sera masih terpaku menatap pintu gerbang, menunggu dengan harapan yang sama yaitu kedatangan Ravi. Tak disangka hari ini doa Sera terkabul, keajaiban yang ditunggu itu datang, sosok yang dinantinya sekarang datang dan berdiri di balik pintu gerbang kusam itu. Sera terhenyak bahagia melihat Ravi benar-benar datang kembali. Tidak pernah ia sebahagia hari ini.

“Ravi kau kembali” bisik Sera. Badannya berguncang hebat akibat tangis kebahagiaan.

“Raviku” hela Sera dalam nafasnya.

Ravi terlihat sangat gagah dengan setelan kemeja hitam dan lengan kemeja yang sengaja digulung sedengkul. Rambut hitamnya tampak segar dengan gel yang membasahi setiap helai. Beberapa kali Sera membuka dan menutup kelopak mata, memastikan penglihatannya benar. Ia masih tidak percaya bisa melihat Ravi kembali, padahal dia sudah putus asa dan ingin berhenti mengharap Ravi. Sera pikir Ravi sudah melupakannya, tapi hari ini Ravi kembali, dia benar-benar kembali dan ada. Namun kebahagiaan Sera tak berlangsung lama, dari mobil yang dikendarai Ravi, keluar sesosok wanita lain. Sera mengernyitkan dahi, memicingkan pandangan. Ravi mendekati wanita itu, menggenggam tangannya dan menarik pelan berjalan mendekati Sera.

“Ravi-ya, apa yang kau lakukan? Siapa wanita itu?” batin Sera.

Mereka berjalan mantap ke depan, seakan melupakan Sera yang berdiri lemah dengan segala kesakitan. Sera kira, Ravi akan melepaskan genggaman tangan itu kemudian memeluk Sera ketika mereka berpapasan, tapi? Dia berlalu tanpa sedikitpun menoleh pada Sera. Sera terperangah sekaligus menitikkan air mata.

“Ravi, apa kau tidak melihatku? Kenapa kau tidak menoleh? Apa ini balasanmu atas penantianku selama ini?” tangis Sera terus pecah, tapi Ravi tetap berjalan lurus ke depan, tidak memperdulikan Sera.

*****

Pertama kali melihat rumah ini sudah menimbulkan banyak pertanyaan di benak Jinri. Sekuat mungkin ia menyimpan pertanyaan tersebut, sampai Ravi yang membuka suara terlebih dahulu. Ravi menghentikan langkahnya tepat di ruang tamu. Rumah ini penuh dengan debu dan sarang laba-laba di langit-langit rumah. Jinri mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah, betapa terkejut ia menemukan foto Ravi dan wanita itu di setiap sudut rumah. Jinri tak habis pikir kenapa Ravi membawanya masuk ke dalam rumah ini, jelas-jelas ini hanya menambah kesakitan bagi Jinri. Sera yang masih terisak berdiri tidak jauh dari Ravi, berharap kali ini Ravi dapat menyadari keberadaannya dan tidak berpura-pura lagi tak melihat Sera. Harapan Sera terkabul, Ravi menoleh padanya.

“Sera, lama tak bertemu, bagaimana kabarmu? Kau masih terlihat cantik seperti dulu” sapa Ravi pada Sera. Keduanya saling bertatapan lama, meluapkan kerinduan satu sama lain.

“Sera?” Jinri terhenyak sekaligus melirik ke sekitarnya. Wanita ini hanya mengernyitkan dahi.

“Apa kau baik-baik saja? Lihat aku kembali kan? Kau pasti sudah menungguku lama, maaf sudah membuatmu menunggu” Sera tak menjawab pertanyaan Ravi, dia masih menuntaskan tangis.

“Ravi, apa yang kau katakan?” dahi Jinri tertekuk berlipat lipat. Ravi membalikkan badan, menatap sendu pada Jinri yang tidak mengerti apa-apa dengan keadaan ini.

“Jinri-ya kau bertanya siapa Sera sebenarnya?” Jinri mengangguk pelan.

“Sera adalah tunanganku” kilat menghantam Jinri seketika.

“Tu…..na….ngan?” eja Jinri terbata-bata. Ravi membalikkan badan kembali kemudian meneruskan perkataannya.

“5 tahun kita bersama sampai akhirnya aku memutuskan untuk melamarnya, Seraku yang cantik, manja, kekanak-kanakan, rambutnya yang hitam legam sangat indah saat terurai, senyumnya sangat manis dan sekarang dia masih sangat cantik mengenakan blues putih pemberianku. Seraku juga sangat suka dengan bunga aster, itu kenapa di depan rumah ini banyak bunga aster” Ravi terus mengoceh, matanya menatap tajam ke arah Sera. Gadis itu tak kuat mendengar semua kata-kata Ravi, kata-kata tersebut membuatnya memutar kenangan saat mereka bersama, sudah banyak kenangan yang mereka lalui, satupun tidak ada yang  Sera lupakan. Air mata Sera yang berhenti beberapa detik kembali mengalir. Tak hanya Sera, Jinripun meneteskan air mata tapi bukan karena terharu mendengar cerita Ravi, tapi karena ia sakit mendengar Ravi memuji wanita lain.

“Jadi apa maksudmu mengatakan semua ini? Ingin memberi tahu bahwa Sera adalah tunanganmu yang sebenarnya, dan aku hanya pelampiasan? Atau kau ingin mengatakan memiliki dua tunangan? Kau sudah membawaku tempat terpencil ini hanya untuk itu? Untuk menambah kesakitanku, aku membencimu Ravi” Jinri melengos dan berlari pergi dari hadapan Ravi. Sera menatap kepergian Jinri dengan muka polos, ia tak peduli gadis itu menangis. Ravi tak mengejar Jinri, ia diam, menatap Sera di hadapannya.

“Dugaanku benar, kau masih menungguku, kau masih menyimpan semua kenangan kita di rumah ini” Sera tersenyum mendengar kata-kata Ravi, ia tak bisa berkata-kata membalas semua pernyataan tersebut, hanya diam dan menikmati setiap lekuk paras Ravi, laki-laki yang teramat ia sukai dan sayangi.

“Aku sangat menyayangimu Sera, 5 tahun bersama membuatku memilihmu untuk menjadi pendamping hidupku, tapi sejak kejadian itu aku sadar kita tak bisa bersama, terlalu besar perbedaan di antara kita sekarang, kita tidak mungkin bersama lagi, percayalah kau akan bahagia dengan duniamu, bukan dengan duniaku” Ravi tersenyum tipis, namun Sera menatap getir.

*****

Jinri menangis tersedu sedu di tengah hutan yang sepi. Jinri tidak habis pikir apa yang ada di benak Ravi saat ini. Jauh membawa Jinri dari kota Seoul hanya untuk menunjukkan kemesraannya dengan Sera dan memproklamirkan hubungan mereka. Jinri menghentikan langkah tepat di bawah pohon mahoni, ia berteriak sekencang mungkin, tak peduli ada yang mendengar, ia hanya ingin mengeluarkan semua amarah dan kesakitan yang dirasa.

“Lihat kan? Bahkan ketika aku menangis dan sakit karena ucapanmu kau tidak mengejarku? Apa yang ada dalam pikiranmu? Tuhan kenapa aku dipertemukan dengan laki-laki sejahat dia?” Jinri terus meraung raung sedih. Dia telah dicurangi mentah-mentah oleh Ravi. Halilintar menggelegar dan hujan turun dengan derasnya.

“Apa dia akan kembali? Apa aku harus menunggunya? Aku tidak tahu arah pulang” batin Jinri, kepalanya menoleh ke sekitar, tak ada mobil, sepeda, tak ada kebisingan sedikitpun, sepi.

“Apa aku harus menunggu Ravi untuk mengantarku pulang? Aish, andwae Jinri. Dia sudah menyakitimu” Jinri sudah melangkahkan kakinya untuk pergi tapi langsung ia hentikan karena suara halilintar kembali menggelegar..

“Ravi kembalilah, aku takut” seketika Jinri berteriak ketakutan. Ia tersungkur menekuk lutut. Jauh di lubuk hatinya, Jinri sangat berharap Ravi datang menjemputnya.

Hujan semakin deras, tapi Jinri masih bertahan di tengah guyuran hujan tersebut. Ia mulai mengigil kedinginan dengan bibir yang mulai membiru. Sudah hampir 2 jam ia menunggu tapi Ravi tak kunjung kembali.

“Ravi, kau memilihnya. Kau sungguh memilihnya. Kau tega membiarkanku mati kedinginan disini” Jinri tersenyum pahit.

“Kau memang mencintainya, kau tidak pernah mencintaiku, benar kau memilihnya, kau memilih Sera” akhirnya dengan tarikan nafas dalam Jinri bangun, di usap air matanya yang bercampur dengan tetes hujan.

Mianhae” sebuah suara berat menghentikan niat Jinri pergi dan kini sebuah payung menghalang tetesan hujan mengenai tubuh mungilnya. Jinri menoleh perlahan, seseorang dengan tubuh tegap tengah berdiri tidak jauh darinya.

Mianhae, sudah membuatmu menunggu lama sampai kau basah kuyup dan kedinginan seperti ini, sekali lagi aku minta maaf. Sekarang aku sudah ada di depanmu kan? Aku memilihmu Jinri” Ravi berkata lembut sekali dengan senyum tipis yang menjadi khasnya.

“Pergilah, kau lebih memilihnya” Jinri melengos.

“Jinri kau belum mendengarkan semua penjelasanku”

“Tidak ada yang bisa kau jelaskan lagi, semuanya sudah jelas. Sera adalah tunanganmu yang sebenarnya bukan? Dan aku hanya tunangan palsu. Apa yang kau inginkan dariku hingga membohongiku seperti ini?” Jinri ketus, ia melengos.

“Sera adalah tunanganku yang meninggal  2 tahun yang lalu”

Deg, detak jantung Jinri terhenti beberapa saat. Berat saat ia menolehkan pandangannya ke arah Ravi. Ia ta percaya dengan kata-kata Ravi.

“Iya, Sera meninggal akibat kecelakaan mobil. Rumah itu memang rumah impian kita, tapi takdir berkata lain. Tuhan mengambilnya terlebih dahulu dan tidak mengizinkan kita bersatu. Aku meninggalkan kota kecil ini 2 bulan setelah kepergian Sera. Aku datang ke Seoul untuk melupakan Sera dan menata hidup baru. Awalnya semua terasa sulit bagiku, aku tidak bisa melupakan Sera. Dulu aku rajin sekali mengunjungi Sera walau sekedar membersihkan fotonya, tapi sejak kesibukan di Seoul perlahan aku jarang bahkan tidak pernah mengunjunginya lagi. Walau demikian, aku yakin dia menungguku, dan dugaanku benar” Ravi tertunduk, Jinri tak dapat berkata-kata, ia shock.

“Aku sudah menjelaskan semuanya pada Sera, dunia kita sudah berbeda, dia harus mengikhlaskanku dengan orang lain” tambah Ravi, masih dengan kepala yang tertunduk.

Jankkaman, jadi tadi kau berbicara dengan roh Sera?” Ravi mengangguk lemah. Jinri menghela nafas terbata-bata, Jinri pikir tadinya Ravi berbicara pada foto Sera. Pantas sejak awal Jinri tidak melihat sosok Sera sama sekali ditambah lagi dengan kata-kata Ravi yang tak masuk akal sekarang dia masih sangat cantik mengenakan blues putih pemberianku’. Jinri baru mengerti sekarang.

Mianhae, aku sudah membuatmu kecewa karena aku masih menyimpan semua fotonya dan menulis surat untuk Sera”

“Itu…. “

“Aku merasa bersalah, aku yang menyebabkan Sera meninggal. Andai waktu itu aku tidak membiarkan dia menyetir seorang diri di tengah hujan, pasti dia masih hidup. Ravi dimana pikiranmu membiarkan seseorang yang baru bisa menyetir di tengah hujan lebat seperti itu, bodoh. Sera kau pasti sangat panik dan kesakitan saat itu, mianhae

“Ravi-ya” lirih Jinri, pundak Ravi sedikit bergetar, ia menangis.

“Aku menuliskan surat untuk Sera sebagai penebus kesalahanku padanya, walau aku yakin Sera tidak mungkin hidup kembali, kita sudah berada di dunia yang berbeda. Setiap hujan turun aku selalu teringat dengannya, teringat semua kesalahanku. Sera mianhae

“Ravi-ya, ini bukan kesalahanmu” Jinri memeluk erat Ravi, pundaknya bergetar hebat. Dia menangis sesenggukan disana. Sekarang Jinri mengerti mengapa Ravi sangat marah ketika seseorang melihat kenangannya dengan Sera. Dia masih dikerubungi rasa bersalah yang besar.

“Syukurlah aku bertemu denganmu, kau yang menyadarkanku bahwa hubunganku dan Sera sudah……”

“Ravi, bolehlah aku kembali ke rumah itu?” potong Jinri.

“Apa?” Ravi tertegun.

*****

Jinri terdiam melihat foto Sera terikat pita hitam  tergantung di sudut kamarnya. Setelah diperhatikan betul wajah Sera memang sangat cantik, pantas Ravi sangat menyukainya.

“Sera, maafkan aku sudah mengambil Ravi tanpa pamit padamu. Aku berjanji aku tidak akan menyakitinya, aku akan menyayanginya, walau aku tahu dan yakin kasih sayangku tidak akan melebihi kasih sayangmu pada Ravi, sekarang apa kau mengizinkan Ravi bersamaku?”

“Sera sudah mengizinkanmu sayang, dia akan sangat bahagia jika aku bahagia disini bersamamu” Ravi memeluk Jinri hangat, memeluknya dari belakang. Jinri menggenggam lingkaran tangan Ravi, merasakan hangat rasa menembus pertanan tubuhnya.

Melihat kehangatan antara Jinri dan Ravi, Sera hanya tersenyum simpul seraya berkata.

“Setidaknya aku masih melihatmu berdiri tegak, tersenyum dan bahagia walaupun bukan bersamaku. Memang seharusnya aku merelakanmu untuknya Ravi, seharusnya aku sadar kita tak mungkin bersama. Berbahagialah dengannya, sampai kapanpun aku akan tetap disini, tinggal bersama dengan kenangan kita, berharap kau mengunjungi rumah idaman kita dan membersihkan fotoku.”

*****

Ketika hujan datang

Aku mengingat semua tentang kita

Mengingat cinta kita dan kesalahan terbesarku

Tapi ketika hujan berhenti

Semuanya sirna terhapus oleh pelangi

Pelangi itulah yang aku beri nama, Shin Jinri

Izinkanlah pelangi itu yang menemaniku saat ini..

Gomawo Sera, semoga kau tenang disana..

 

                                                                                    -Ravi-

 

END